Oleh: Ustadz Setyadi Rahman
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْـنُهُ وَ نَسْـتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِـنَا وَ مِنْ سَيِّـئَاتِ أَعْمَالِنَـا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَ مَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ نَبِـيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَي آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ.
أَمَّـا بَعْدُ فَيـَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْنِي وَ إِيَّـاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ حَقَّ تَقَوَاهُ، لَعَـلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا71)[الأحزاب:70-71]
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Puji syukur sudah sepantasnya kita peruntukkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang banyak memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada kita, mulai dari nikmat yang tampak maupun yang tidak. Seharusnya syukur itu lebih dalam lagi karena semua nikmat tersebut berstatus free cash atau gratis alias Cuma-Cuma. Tak terbayang betapa beratnya beban yang harus kita tanggung seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan kita membayar semua nikmat yang telah diberikan kepada kita.
Salam dan shalawat kita titipkan kepada junjungan, teladan dan panutan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai refleksi kecintaan kita terhadapnya. Semoga dengan salam dan shalawat tersebut kita berhak mendapatkan syafa’atnya di hari kemudian kelak.
Jamaah shalat Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala….
Dalam sejarah awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, ada dua tokoh yang mendapat gelar atau julukan yang berbeda, bahkan bertolak belakang secara diametral. yang pertama adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sedangkan yang kedua adalah Musailamah Al-Kadzdzab.
Umat Islam sudah seharusnya mengenal siapa sebenarnya Abu Bakar. Ia adalah sahabat besar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang menjadi bapak mertua beliau karena anak perempuannya yang bernama Aisyah radhiyallahu ‘anha menjadi istri beliau yang cerdas dan paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Bakar diberi gelar “ash-Shiddiq” karena menjadi orang yang selalu jujur dan membenarkan segala yang datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama membenarkan peristiwa Isra’ Mi’raj. Sebuah peristiwa yang menurut penalaran dan logika orang-orang Quraisy pada masa itu sangat mustahil. Ketika mereka bertanya kepada Abu Bakar, ia menjawab dengan tegas tanpa keraguan sedikit pun, “Ya, saya benarkan, bahkan saya membenarkan (peristiwa) yang lebih (aneh dan mustahil) lagi daripada yang demikian itu.”
Selain Abu Bakar, umat Islam seharusnya juga mengenal seorang tokoh aliran hitam nan jahat yang bernama Musailamah. Semenjak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, ia mengaku dirinya sebagai seorang nabi dan rasul. Ketika menulis sepucuk surat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia memulai dengan kalimat, “Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah….” Surat itu pun dibalas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. dengan kalimat pembuka, “Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah Al-Kadzdzab….” Semenjak itulah julukan “Al-Kadzdzab”, artinya orang yang selalu berdusta melekat erat pada diri Musailamah.
Zumratal mukminin rahimakumullah,
Setelah era Abu Bakar ash-Shiddiq dan Musailamah Al-Kadzdzab, tidak adakah lagi orang-orang yang memiliki karakter seperti keduanya, terutama pada zaman modern seperti saat ini? Jawabnya tegas, “Ada dan akan selalu ada!” Kalau berbagai peristiwa yang diekspos media masaa kita pelajari dengan cermat, boleh jadi kita akan tercengang karena ternyata jumlah manusia yang berkarakter Al-Kadzdzab naik berlipat ganda, menyebar di mana-mana, di berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan, jumlah itu mengalahkan jumlah manusia yang berkarakter ash-Shiddiq.
Karena itulah kita bisa memahami mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kecintaannya kepada umat Islam dan kaum beriman, mengawal mereka dalam bimbingan sabdanya sebagaimana berikut,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَ إِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْـقًا، وَ إِيَّـاكُمْ وَ الْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَ إِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّـارِ، وَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَ يَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًـا (رَوْاهُ مُسَلَّمَ)
“Wajib bagi kamu sekalian berbuat jujur/benar karena sesungguhnya kejujuran/kebenaran itu akan membimbing kepada kebaikan, sedangkan kebaikan itu akan membimbing (masuk) ke dalam surga. Seseorang yang selalu berbuat jujur/benar dan terus-menerus berbuat jujur/benar, niscaya akan dicatat di sisi Allah sebagai «shiddiq», yakni orang yang selalu berbuat jujur/benar. Sebaliknya, jauhilah oleh kamu sekalian perbuatan dusta/bohong karena sesungguhnya kedustaan/kebohongan itu akan membimbing kepada kejahatan, sedang kejahatan itu akan membimbing (masuk) ke dalam neraka. Seseorang yang selalu berbuat dusta/bohong dan terus-menerus berbuat dusta/bohong, niscaya akan dicatat di sisi Allah sebagai «kadzdzab» (yakni orang yang selalu berbuat dusta/bohong).” (HR. Muslim)
di balik sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersirat adanya pilihan kepada kita, “Kalau ingin masuk surga, banyak-banyaklah berbuat jujur atau benar. Namun jika berniat masuk neraka, silakan menumpuk-numpuk tindak kejahatan.”
Jamaah sidang Jum’at Rahimakumullah,
Pada dasarnya, fitrah setiap orang dapat menjadi orang yang jujur/benar, bahkan menjadi pendukung fanatik kejujuran atau kebenaran. Semestinya fitrah ini dijaga dalam sebuah sistem kemasyarakatan dan lingkungan sosial yang penuh dengan tradisi kejujuran/kebenaran. Kalau tidak demikian, bersiap-siaplah mengalami metamorfosa dari manusia yang jujur/benar menjadi manusia yang suka berdusta dalam segala bidang kehidupan. Begitu pentingnya hidup dalam lingkungan sosial yang penuh kejujuran/kebenaran, sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan perintah langsung dan jelas dalam firman-Nya,
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ )[التوبة: 119]
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan menjadilah (atau beradalah/tinggalah) kamu sekalian bersama-sama dengan orang-orang yang jujur/benar.” (At-Taubah: 119)
Ketika seseorang tidak meyakini kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, lalu melakukan perbuatan sebaliknya, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya orang-orang rakus terhadap dunia seperti seorang Gayus Tambunan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Gayus Tambunan adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pangkat/golongan masih III-A dan baru lima tahun menjadi punggawa pemerintah di Direktorat Jendral Pajak. Gajinya per bulan 12 juta rupiah menurut standar penggajian DKI Jakarta, ditambah remunerasi dari Kementerian Keuangan. Remunerasi adalah sejumlah uang yang diberikan kepada pegawai sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang dilakukannya, khususnya di tempat-tempat ‘basah” yang potensi godaan korupsinya sangat besar. Sementara itu, istri Gayus Tambunan, yang bekerja sebagai staf sekretariat DPRD DKI Jakarta, bergaji enam juta rupiah per bulan. Total jendral pasangan suami-istri itu berpenghasilan 18 juta rupiah per bulan.
Penghasilan yang begitu besar ternyata belum memuaskan hasrat keduniaan Gayus Tambunan. Tiba-tiba kita semua, rakyat dan bangsa Indonesia, tercengang karena terbukti ia memiliki rekening siluman dengan uang simpanan sebesar 28 milyar rupiah. Tentu saja uang sebesar itu diperoleh Gayus Tambunan dari jalan yang tidak jujur/benar, dengan cara berdusta dan kerja manipulatif, melalui jaringan sindikat makelar kasus perpajakan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Gayus Tambunan adalah contoh aktual dan realistis tentang tragedi anak manusia yang begitu cepat berubah, dari lugu menjadi mata duitan, dari jujur menjadi penuh dusta, karena kuatnya faktor lingkungan sosial dan lingkungan pergaulan yang tidak mendukung berkembangnya atmosfer kejujuran dan kebenaran.
Sampai kapan pertarungan antara kejujuran versus kebohongan akan berhenti? Jawabnya, tidak akan pernah berhenti sepanjang manusia dengan potensi baik dan buruknya masih hidup. Sepanjang manusia lebih mengedepankan tuntutan hawa nafsu daripada ketukan hati nurani, selama manusia tidak mau memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya dengan resep dan cara-cara yang dituntunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا، وَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْم لِي وَلَكُمْ، وَلِسَائِرِ المسْلِمِيْنَ وَ المسْلِمَات، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ. وَ بِهِ نَسٍتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَ الدِّيْنِ. وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلىَ نَبِـيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَليَ آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَريْـكَ لَهُ، الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُه، أَرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ.
أَمَّا بَعْـدُ فَيَاأَيـُّهَا اْلإِخْوَانُ، أُوْصِيْكُمْ وَ إِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Jamaah sidang Jum’at rahimakumullah
Marilah kita akhiri pertemuan yang mulia ini dengan berdoa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenan memberikan kita kemampuan untuk istiqamah bertindak jujur dan memperjuangkan kebenaran kapan pun dan di mana pun kita berada. Serta menjauhkan kita dari kebiasaan berbuat dusta atau kebohongan dalam hal apa pun dan kepada siapa pun.
فَاِعْلَمُوا أَنْ اللهَ أَمرَّكُمْ بأمر بَدَأَ فِيه بِنَفْسُه وَثَنَى بِمَلاَئِكَتِهُ الْمَسْبَحَةَ بِقُدُسِهُ وَثُلْثَ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ فَقَالَ عِزِّ مِنْ قَائِلِ (إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا )[الأحزاب: 56]
اللَّهُمُّ صِلِّ وَسَلْمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدَ وَعَلَى آله وَصحابَتَهُ وَمِنْ اِهْتَدَى بِهُديِهُ واستن بِسَنَتِهُ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ .ثَمَّ اللَّهُمُّ اُرْضُ عَنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ أَبِي بَكَرَ وَعَمَرَ وعثمان وَعَلَيِي وَعَلَى بَقِيَّةَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعَ التَّابِعِينَ وَعَلَينَا مَعَهُمْ بِرَحِمَتِكَ يا أَرحمَ الرَّحِمِينَ .
اللَّهُمُّ اِغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ والمؤمين وَالْمُؤَمَّنَاتِ الأحياء مِنْهُمْ والأموات .
اللَّهُمُّ أَعَزَّ الإسلام وَالْمُسَلَّمَيْنِ وَأُهِلُّكَ الْكَفَرَةَ والمشركين وَدَمَّرَ أَعَدَّاءَكَ أَعَدَّاءَ الدِّينِ
اللَّهُمُّ أَصلحَ لَنَا دَيِّنَنَا الَّذِي هوعصمة أَمرَّنَا ، وَأَصْلَحَ لَنَا دنياَنَا الَّتِي فِيهَا مَعَاشَنَا وَأَصْلَحَ لَنَا آخرتنا الَّتِي إِلَيهَا مُعَادَنَا وَاِجْعَلْ اللَّهُمُّ حَيَّاتِنَا زِيادَةَ لَنَا فِي كُلَّ خَيِّرَ وَاِجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةَ لَنَا مِنْ كُلَّ شَرَّ
اللَّهُمُّ أَعَنَّا عَلَى ذَكَرِكَ وَشكرَكَ وَحَسَنَ عِبَادَتِكَ اللَّهُمُّ إنا نَسْأَلُكَ الْهُدى وَاِلْتَقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنى وَحَسَنَ الْخَاتِمَةِ اللَّهُمُّ اِغْفِرْ لَنَا واوالدينا وَاِرْحَمْهُمْ كَمَا رَبْوَنَا صغارَا
رَبَّنَا هَبَّ لَنَا مِنْ أَزَواجِنَا وَذَرِّيَاتِنَا قَرَّةً أَعَيْنَ واحعلنا للمتقين إماما رَبَّنَا لَا تَزِغُ قُلُوبُنَا بَعْدَ إِذْ هِدْيَتَنَا وَهَبَّ لَنَا مِنْ لَدُنْكِ رَحْمَةَ إِنَّكِ أَنْتِ الْوَهَّابَ رَبَّنَا آتنا فِي الدُّنْيا حَسَنَةَ وَفِي ‹ الآخِرَةِ حَسَنَةً ‹ وَقَنَّا ‹ عَذَابَ النَّارِ ‹
عِبَادُ اللَّهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعِدْلِ والإحسان وإيتاء ذى الْقربى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكِرِ وَالْبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَّكِرُونَ اِذَّكَرُوا اللَّه الْعَظِيمَ يَذَّكِرُكُمْ وَاِسْأَلُوهُ مِنْ فُضُلِهُ يُعْطَكُمْ وَلِذَكَرِ اللهُ أَكبرِ وَاللهَ يُعْلِمُ مَا تُصَنِّعُونَ
(3)
﴾Indahnya Hidup di Bawah Naungan Sifat Sabar dan Syukur ﴿
Oleh: Ustadz Fachrudin Nursyam Lc
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْـنُهُ وَ نَسْـتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِـنَا وَ مِنْ سَيِّـئَاتِ أَعْمَالِنَـا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَ مَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ نَبِـيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَي آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ.
أَمَّـا بَعْدُ فَيـَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْنِي وَ إِيَّـاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ حَقَّ تَقَوَاهُ، لَعَـلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 70 يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ) [الأحزاب: 70-71]
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah!
Segala puji dan syukur marilah senantiasa kita panjatkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. di hari dan tempat yang mulia ini, kita kembali diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bisa hadir berkumpul bersama menjalankan kewajiban shalat Jum’at dengan penuh kekhusyukan. Kita niatkan semua ini dalam rangka ketaatan sekaligus mengagungkan hari Jum’at sebagai salah satu syiar dalam agama kita. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
(ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ )[الحج: 32]
“Dan barangsiapa yang mengagungkan syiar (agama) Allah, maka itu adalah bukti ada ketakwaan dalam hatinya.” (Al-Hajj: 32)
Selanjutnya, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, begitu pula kepada keluarga beliau dan para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim, bahkan kepada kita semua, seluruh pengikut dan penerus risalah Islam yang Istiqamah hingga akhir nanti.
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah!
Sabar dan syukur adalah dua pilar iman yang akan mengantarkan kita sebagai hamba Allah yang paling mengagumkan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ رواه مسلم
“Sungguh mengagumkan perihal seorang mukmin. Semua urusannya menjadi baik, dan hal itu tidak terjadi pada seorangpun kecuali orang mukmin. Jika mendapatkan kegembiraan, ia bersyukur, dan hal itu adalah suatu kebaikan baginya. Jika mendapatkan musibah, ia bersabar, dan hal itu adalah suatu kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Sabar, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri jangan sampai panik dan sedih yang berlebihan, menahan lisan jangan sampai berkeluh-kesah, dan menahan anggota badan jangan sampai melakukan tindakan jahil seperti menampar pipi dan menyobek-nyobek baju.
Sabar merupakan anugerah terbesar dan terbaik yang diberikan Allah kepada seorang hamba. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
وَمَا أُعْطِىَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ(رواه البخاري ومسلم )
“Tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah!
Berkat kesabaran, seorang hamba akan meraih berbagai kebaikan dan kesuksesan di dunia. Karenanya Allah memerintahkan kita agar menjadikannya sebagai sarana bantu untuk mewujudkan berbagai kebaikan seraya berfirman,
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ )[البقرة: 153]
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153)
Berkat kesabaran, seorang hamba akan mendapatkan pahala yang sempurna tanpa batas Allah Ta’ala berfirman,
(إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ) [الزمر: 10]
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”(Az-Zumar: 10)
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah!
Kita harus mampu mewujudkan tiga bentuk kesabaran. Pertama, sabar menghadapi musibah, melaksanakan ketaatan dan sabar menjauhkan diri dari kemaksiatan. Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
الصَّبْرُ ثَلاَثَةٌ فَصَبْرٌ عَلَى المُصِيْبَةِ وَصَبْرٌ عَلَى الطَّاعَةِ وَصَبْرٌ عَنِ المَعْصِيَةِ
“Sabar ada tiga. Sabar atas musibah, sabar atas ketaatan, dan sabar dari kemaksiatan.” (Uddatu shabirin/1/57)
Kesabaran menjadikan kita mampu menghadapi musibah dan ridha terhadap ketetapn Allah atas diri kita. Kesabaran juga menjadikan kita mampu melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Pada saat itulah derajat kita di sisi Allah akan mengalami kenaikan yang luar biasa. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
فَمَنْ صَبَرَ عَلَى المُصِيْبَةِ حَتَّى يَرُدَّهَا بِحُسْنِ عَزَائِهَا كَتَبَ اللهُ لَهُ ثَلاَثَمِائَةِ دَرَجَةٍ
“Barangsiapa bersabar atas musibah hingga Allah mengembalikannya dengan kebahagiaan, Allah akan menuliskan untuknya tiga ratus derajat.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga berkata,
“وَمَنْ صَبَرَ عَلَى الطَّاعَةِ حَتَّى يُؤَدِّيَهَا كَمَا أَمَرَ اللهُ كَتَبَ اللهُ لَهُ سِتَّمِائَةِ دَرَجَةٍ
“Barangsiapa bersabar atas ketaatan sehingga ia menunaikannya sebagaimana diperintahkan Allah, Allah akan menuliskan untuknya enam ratus derajat.”
Kesabaran akan menjadikan kita mampu menghindarkan diri dari kemaksiatan dan semua yang diharamkan Allah meski nafsu syahwat kita sangat menginginkannya. Kesabaran ini juga akan meninggikan derajat kita di sisi Allah. Ali radhiyallahu ‘anhu. berkata,
وَمَنْ صَبَرَ عَنِ المَعْصِيَةِ خَوْفًا مِنَ اللهِ وَرَجَاءَ مَا عِنْدَهُ كَتَبَ اللهُ لَهُ تِسْعَمِائَةِ دَرَجَةٍ
“Barangsiapa bersabar dari kemaksiatan karena takut kepada Allah dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, Allah akan menuliskan untuknya sembilan ratus derajat.”
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah!
di samping merealisasikan kesabaran, kita juga harus mampu menghiasi diri kita dengan sikap syukur kepada Allah Ta’ala. Syukur pada hakikatnya adalah terlihatnya nikmat Allah Ta’ala pada lisan seorang hamba berwujud pujian dan pengakuan, di hatinya berwujud kesaksian dan kecintaan dan pada anggota badannya berwujud ketundukan dan ketaatan.” (Madarijus salikin/2/246)
Jadi lisan kita hendaknya senantiasa mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan menyampaikan testimoni bahwa semua kenikmatan pada diri kita adalah berasal dari Allah. Di samping itu hati kita hendaknya senantiasa meyakininya dan menjadi saksi atas kemurahan Allah serta semakin mencintai Allah sebagai sang pemberi nikmat. Rasa syukur kita hendaknya senantiasa dibuktikan dalam tindakan nyata, di mana kita semakin tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam lisannya senantiasa basah dengan dzikir dan puji-pujian kepada Allah, hati beliau penuh dengan keimanan dan kecintaan yang besar kepada Allah, serta fisik beliau tidak pernah berhenti beribadah kepada Allah meski dalam keadaan lelah dan sakit. Aisyah radhiyallahu ‘anhu menuturkan,”Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam selalu melakukan qiyamullail sehingga bengkak kedua kaki beliau, lalu aku berkata,”Mengapa engkau melakukan semua ini padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu, baik di masa lalu maupun di masa datang?” Beliau hanya menjawab,
أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا رواه البخاري ومسلم
“Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menjadi hamba yang pandai bersyukur adalah pencapaian yang sangat sulit. Karenanya, Allah Ta’ala berfirman,
(اعْمَلُوا آَلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ )[سبأ: 13]
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang pandai bersyukur.” (Saba’: 13)
Syukur adalah nikmat dari Allah yang mengharuskan syukur kedua, dan syukur kedua adalah nikmat Allah yang membutuhkan syukur ketiga, dan begitulah seterusnya. Karena itu, kita harus senantiasa menyadari kelemahan dalam bersyukur kepada Allah. Pada saat itulah Allah akan memaafkan kita dan memasukkan kita dalam golongan hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur. Diriwayatkan bahwa Musa ‘alahissalam berkata, ”Ya Allah bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu sedang nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku begitu melimpah?” Allah berfirman,”Wahai Musa, sekarang kamu telah bersyukur kepada-Ku.”
Hendaknya kita juga senantiasa memohon pertolongan Allah agar memberikan kemampuan untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Di antara doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ (رواه أبوداود وقال الشيخ الألباني: صحيح)
“Ya Allah, bantulah aku untuk senantiasa berdzikir menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud)
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ الآمِنِيْنَ وَأَدْخَلَنَا وَإِيَّاُكمْ فِى زُمْرَتِهِ الْمُوَحِّدِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ
الحَمْدُ للهِ الَّذِي هَدَاناَ لِهَذَا، وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أَنْ هَدَاناَ الله، أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلم عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّد كَمَا صَلَّيْتَ وَسَلَمْتَ عَلىَ إبْرَاهِيم وَعَلى آلِ إبرَاهِيم فِى العَالَمِيْنَ إنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
أمَّا بَعْدُ، فَياَ عِبَادَ اللهِ، اِتَّقُوْا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah!
Kita hendaknya berusaha untuk selalu berterima kasih kepada orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita. Karena pandai berterima kasih kepada manusia akan mengantarkan kita menjadi hamba yang pandai bersyukur kepada Allah Ta’ala. Begitu pula sebaliknya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ(رَوْاهُ أبوداود وَقَالَ الشَّيْخِ الألباني : صَحِيحُ)
“Tidak akan bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud)
Di samping itu, kita harus senantiasa mengingat bahwa hanya dengan syukur kepada Allah berbagai kenikmatan yang ada pada diri kita akan bertahan, bahkan akan terus mengalami peningkatan. Jika tidak, maka semua kenikmatan itu akan sirna, bahkan akan berganti dengan kesengsaraan dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
(وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ )[إبراهيم: 7]
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Marilah kita senantiasa berdoa kepada Allah agar menghiasi diri kita dengan sabar dan syukur sehingga kita termasuk orang-orang yang bahagia di dunia dan selamat di akhirat.
عِبَادُ اللَّهِ! (إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا )[الأحزاب: 56]
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ. وَارْضَ عَن الخُلَفَاءِ الأرْبَعَة أبُوبَكْر وَ عُمَر وَ عُثمَانَ وَ عَلِي وَ عَنْ التَّابِعِيْن وَ تاَبِعِ التَّابِعِيْن وَمَنْ تَبِعَهُم بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدَّيْنِ وَ ارْحَمْنَا مَعَهُمْ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَات .
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ.
رَبنَّاَ ظَلَمْناَ أنْفُسَناَ وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَناَ وَتَرْحَمْناَ لَنَكُوْنَنَّ مِنْ الخَاسِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ